Dikutip dari  :  kuswandani di http://addaani2008.wordpress.com

ibnu-athaillah

Ibnu Athaillah Al-Iskandari menuntun kita:

“Engkau bersahabat dengan orang bodoh tetapi tidak mengikuti hawa nafsunya, lebih baik bagi kamu daripada engkau bersahabat dengan orang alim, tetapi suka mengikuti hawa nafsunya. Tak mungkin ilmu itu dimiliki orang alim, apabila ia menyenangi hawa nafsunya, dan dimana letak kebodohan orang bodoh yang tidak menuruti nafsunya.”

Bersahabat itu sangat penting, karena akan menambah dan meluaskan pergaulan dan meniadakan hidup kesendirian atau individual. Sebab pergaulan akan menghidupkan rasa solidaritas. Oleh karena itu, memilih teman bergaul diperlukan agar terhindar dari pengaruh jelek yang akan merusak pribadi seseorang, dan mengaburkan kesucian dari wajahnya. Demikian juga bergaul dengan orang berilmu yang saleh akan mendapatkan ilmu dan kesalehannya, sedangkan bergaul dengan orang yang bodoh dan rusak akan mendapatkan kebodohan dan kerusakannya.

Sedangkan teman sepergaulan yang paling baik ialah bergaul dengan orang bodoh tetapi berbudi pekerti baik dan saleh. Sebaliknya, sejelek-jelek pergaulan adalah bergaul dengan orang pandai, tetapi suka mengikuti hawa nafsu.

Gambaran dari hadis Nabi Muhammad saw. dalam bergaul diibaratkan pergaulan itu seperti berteman dengan penunggu tungku besi (tukang besi), dan penjual minyak wangi. Bergaul dengan tukang besi membuat kita berbau asap yang merusak hidung dan kerongkongan kita. Sedangkan bergaul dengan penjual minyak, ia akan ikut menghirup wanginya minyak tersebut, walaupun bukan pemiliknya. Hanya orang yang arif dan saleh sajalah yang mampu memahami perumpamaan dari hadits Nabi Muhammad saw.

Memang memilih teman bergaul sangat menentukan sifat dan akhlak seseorang. Seorang hamba yang menuju makrifat, selain memilih teman bergaul, juga wajib berhati-hati dalam pergaulan. Sebab hanya ada dua pilihan, akan terangkat ke maqam ketaatan dan makrifat, atau akan terjerumus ke lembah maksiat dan kerusakan.

Akan tetapi kadang-kadang terjadi orang-orang berilmu dan pemimpin umat terjerumus ke lembah hawa nafsu dan kemaksiatan, karena ilmunya tidak mampu melepaskan diri dari godaan hawa nafsu. Barangkali orang bodoh tanpa ilmu, lebih mudah menghindari hawa nafsu dan langkah maksiat. Memang kadang-kadang kebodohan menyelamatkan. Kepandaian kadang-kadang membuat orang merasa mampu berhadapan dengan pengaruh dunia melalui ilmunya, akan tetapi ternyata ia lemah ketika berhadapan dengan kenyataan. Mengapa? Karena kadang-kadang orang pandai merasa mampu lalu sombong, dan di saat sombong itulah nampak kelemahannya. Ia bisa terjebak masuk ke wilayah hawa nafsu, sadar atau tidak sadar.

Hamba yang sedang berjalan menuju makrifat dan kesalehan serta keihsanan, perlu menempatkan dirinya dalam pergaulan penuh kewaspadaan. Kemudian memberikan kekuatan bagi diri kita dengan doa dan zikir, sedekah, selain ibadah wajib lainnya. Mengasyikkan diri dalam ibadah, dan bergaul dengan orang-orang saleh, para ulama, menjadi dasar penting bagi hamba yang sedang menuju makrifat.

Untuk mendapatkan ridha Allah di dunia dan akhirat, maka hendaklah seorang hamba melakukan riyadhah dan mujahadah terus menerus sehingga ia mencapai maqam makrifat yang bertahap dari waktu ke waktu sampai kepada kesempurnaannya. Menempatkan Allah di atas segala kepentingan duniawi dalam pergaulan hidup itulah jalan yang benar dari perjalanan si hamba mendekati Allah SWT.[]